Cari Blog Ini

Sabtu, April 26

Cinta Allah Jauh Lebih Besar Pada Suami Saya

Bukan kali pertama Pak Dimas cerita tentang kondisinya yang semakin lama semakin melemah. Ya, sejak vonis dibetes dari dokter, satu persatu penyakit yang lain seperti diundang mampir ke tubuhnya. Serangan stroke ringan, kolesterol dan vonis terakhir yang bikin aku kaget adalah waktu Pak Dimas cerita bahwa sarafnya bermasalah. Ya Allah... waktu cerita dia masih tersenyum lebar, sementara kami rekan-rekan satu kantornya shock dan hanya bisa mendoakan semoga dia diberi kesembuhan. 

Tapi sore itu aku dikagetkan dengan bbm teman yang mengajakku untuk menjenguk Pak Dimas. Menurutnya sakit Pak Dimas sudah parah, karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa selain terbaring lemah di tempat tidur. Aku mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali melihat beliau di kantor. Waktu itu sekitar 2 minggu yang lalu, kami masih saling berbicara dan bergurau di sela-sela jam istirahat. 2 minggu belakangan aktivitasku memang lebih banyak di lapangan, jadi kurang begitu tau kabar rekan-rekan di kantor. 

Aku menelpon istri Pak Dimas, Bu Mira. Oya, di kantor aku berada di bidang yang sama dengan Pak Dimas, dan beliau adalah atasanku. Di lapangan aku berpartner dengan istrinya dari bidang yang berbeda di kantor. Kebetulan yang tak disengaja itulah yang kemudian menjadikan aku lebih mengenal keluarga Pak Dimas. Bu Mira menjawab salamku, dari suaranya tidak ada yang berbeda. Dia malah bertanya bagaimana kabarku. Tapi waktu aku yang bertanya bagaimana kabarnya dan kabar Pak Dimas, aku bisa menangkap nada khawatir di ujung telpon.

"Bapak gak bisa apa-apa sekarang... apa-apa ya di tempat tidur.."
Aku terdiam menyimak cerita Bu Mira. Terbayang kebersamaan kami selama di kantor. Pak Dimas yang ku kenal adalah sosok yang sholeh. Beberapa kali aku berada satu mobil dengan beliau dan istrinya dalam rangka pekerjaan, setiap masuk waktu sholat mobilnya akan berbelok ke mesjid. Di kantor beliau juga penggagas diadakannya pengajian. Di lingkungan beliau tinggal, beliau juga aktif di kenaziran mesjid. Pak Dimas dan Bu Mira juga mempercayakan pendidikan anak-anaknya di pondok pesantren. Sebuah potret keluarga yang benar-benar islami.

"Kamu sibuk di lapangan ya? Kalau ada waktu mampir ke mari ya..." Itu kata-kata Bu Mira sebelum mengucapkan salam dan menutup pembicaraan. Hari itu juga Rabu 16 April 2014, sepulang dari lapangan untuk suvei lokasi magang rombongan tamu dari luar kota, aku sempatkan mampir menjenguk Pak Dimas. Orang yang selalu ceria dan suka tersenyum itu hanya terbaring lemah. Berbicara hanya satu-satu kata. Di sampingnya duduk Bu Mira yang terus memegang tangannya. "Sudah masuk waktu Ashar, Bang.. Mira bantu tayamum ya..." bisiknya ke telinga suaminya. Aku terharu saat melihat pemandangan di depanku. "Ya Allah, berilah kesembuhan pada Pak Dimas, beliau sangat baik..." doaku dalam hati.

Jum'at, 18 April 2014 aku mengajak keluargaku untuk kembali membezuk Pak Dimas. Seperti kemaren, belum ada perubahan yang berarti. Kondisinya malah semakin lemah. Tapi Bu Mira terlihat semakin tegar. Selalu tersenyum menanggapi keresahan dan keluhan Pak Dimas yang sewaktu-waktu muncul karena merasa tidak nyaman. Menurut Bu Mira, Pak Dimas menolak dibawa ke Rumah Sakit. Beliau merasa lelah karena sudah terlalu lama berurusan dengan rumah sakit dan sudah terlalu banyak minum obat-obatan. Jadi selama seminggu belakangan, Bu Mira membawa Pak Dimas berobat ke pengobatan alternatif. 

Senin, 21 April 2014 aku dan beberapa teman di kantor kembali ingin menjenguk Pak Dimas. Setelah sholat dzuhur kami izin keluar lebih awal untuk menjenguk Pak Dimas. Sebelum berangkat, aku sengaja menelpon Bu Mira tapi tidak diangkat. Aku tinggalkan sms, bilang kalau kami akan ke rumahnya. Tak lama Bu Mira membalas kalau mereka tidak ada di rumah, karena hari senin adalah jadwal membawa Pak Dimas ke pengobatan alternatif yang jaraknya lumayan jauh dari kediaman mereka. Tak bisa membezuk hari itu, kami sepakat akan datang besok atau lusa saja.

Tapi rencana tinggal rencana. Allah juga Maha Pengatur dan sebaik-baik Pembuat Rencana. Ba'da maghrib di hari yang sama kabar yang sangat aku takutkan akhirnya sampai juga kepadaku. Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun.. Allah telah memanggil Pak Dimas menjelang maghrib dalam perjalanan ke rumah sakit.

Pesan bbm, sms, dan telpon malam itu tak henti-hentinya masuk ke ponselku. Semua yang mengenal beliau bersedih dengan berita tersebut. Semua merasa kehilangan dan seolah tidak percaya. Aku sendiri masih belum percaya. Aku coba menghubungi Bu Mira lewat ponselku.

"Iya, berita itu benar... Bapak sudah tidak ada, tadi sekitar pukul setengah tujuh. Tolong kabari yang lain, sudah dulu ya..." telepon terputus. Subhanallah, dari nada suaranya aku menangkap keikhlasan luar biasa dari Bu Mira. Tidak ada suara tangisan, ratapan dan jerit histeris. Bahkan sesegukan pun tak ada terdengar. Meskipun begitu, aku yakin jauh di lubuk hatinya dia sedang terluka, kehilangan orang yang sangat dicintainya. Temannya mengarungi kebersamaan selama ini, ayah dari anak-anaknya. Allahu Akbar... membayangkan itu, tak henti-henti air mataku mengalir. 

Aku baru bisa melayat ke rumah duka keesokan harinya, selasa 22 April 2014. Bu Mira duduk di samping jenazah suaminya. Matanya memerah karena tangis, tapi tetap berusaha tersenyum menyambut satu persatu tamu yang menyatakan rasa berdukanya. Setelah semua kewajiban atas jenazah dilakukan, sekitar pukul 10 lewat beberapa menit, jenazah Pak Dimas diantar ke tempat peristirahatannya yang terkahir. Satu persatu tamu yang melayat meninggalkan rumah duka. Aku masih berada di sana bersama beberapa teman dekat Bu Mira. Mendengar cerita kronologis kematian suaminya langsung dari Bu Mira. Menurut beliau, dalam perjalan pulang dari berobat, tiba-tiba Pak Dimas merasakan sesak dan sulit bernafas. Pak Dimas kemudian dibawa ke klinik terdekat. Tapi karena kondisinya yang semakin melemah, pihak klinik merujuk ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan ke rumah sakit lah, beliau menghembuskan nafas terakhirnya. 

"Saya merasa belum puas merawat beliau.. tapi saya harus ikhlas, mungkin Allah lebih mencintai beliau. Cinta Allah jauh lebih besar pada suami saya. Alhamdulillah, anak-anak juga cukup kuat. Tak ada yang meratapi beliau. Insya Allah anak-anak ini adalah anak-anak sholeh yang akan mendoakan beliau. Beliau suami yang sangat baik juga ayah yang luar biasa hebat bagi anak-anak.."

Ya, Tak hanya bagi istri dan anak-anaknya. Bagi kami teman dan rekan kerjanya, Pak Dimas adalah sosok yang dikenal sangat baik dan sholeh. Semua tak kuasa membendung air mata mendengar cerita Bu Mira. 

Pak Dimas, tutup usia 45 tahun meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak. Semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau semasa hidupnya dan mengampuni dosa-dosa beliau. Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan kepada keluarga yang ditinggalkan. Selamat jalan Pak Dimas..



Note: Cerita ini aku tulis berdasarkan apa yang aku saksikan, nama tokoh dalam cerita sengaja disamarkan. 


Tulisan ini diikut sertakan dalam GIVE AWAY TENTANG IKHLAS

4 komentar:

  1. ikhlas menerima sebagai suami dan ikhlas juga saat melepasnya pergi menemui panggilan Sang Khaliq...semoga Allah melapangkan jalan almarhum pak Dimas menuju surga-NYA...,
    selamat berlomba ya...semoga menjadi yang terbaik..
    keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Ya Allah...

      Makasih mas sudah berkunjung, salam dari Medan :)

      Hapus
  2. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kejadiannya baru ya. Makasih sudah ikut GA ku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak.. T_T
      Terimakasih kunjungannya mbak..

      Hapus

Tinggalin komentar kamu di sini ^^