Jajan Sore Dari Supir Angkot (Indahnya Berbagi)

Siang itu cuaca sangat panas, sampai ke ubun-ubun kepala, menyengat dan serasa membakar. Semua orang bergerak dengan cepat, berharap bisa segera menyelesaikan apapun itu dengan secepatnya. Aku juga begitu, setelah melihat kiri kanan dan yakin aman, aku menyebrangi jalan. Lalu lintas di simpang empat Kampung Lalang tidak pernah sepi di siang hari. Maklumlah terminal bus Pinang Baris tak jauh dari situ. Seperti siang itu, antrian angkot, truk, mobil pribadi, betor, sepeda motor memenuhi setiap ruas jalan. Semuanya mesti bersabar untuk bisa keluar dari kemacetan simpang empat (Kampung Lalang –Pinang Baris-Kelambir Lima-jalan Gatot Subroto)Medan.

Suara klakson sambung menyambung dengan suara para Abang Supir yang berteriak menyebutkan line tujuan angkotnya, padahal di jendela angkot tujuan dan nomor angkot tertera dengan jelas, tapi mereka tetap merasa belum puas kalo tidak berteriak menyebutkannya. Aku tidak ingin berlama lama, begitu melihat angkot jurusan Binjai aku memutuskan untuk naik. Dan karena baru aku penumpangnya, laju angkot seperti keong, pelaaannn sekali, dan Abang Supir terus bernyayi “Binje…Binje…Binjeeee….”.

Ajaib!

Entah karena suara si Abang Supir atau karena setiap orang ingin menghindari panas, tidak lama menunggu angkotpun penuh, nyaris sesak. Abang Supir sepertinya puas karena tidak lama kemudian kecepatan angkot bertambah . Aku menarik nafas lega, angin yang masuk melalui pintu angkot langsung menerpa wajahku yang duduk di belakang supir dan menghadap pintu. (Adem banget… )Dan semua penumpang aku pikir juga merasakan hal yag sama. Hembusan angin yang masuk melalui jendela-jendela angkot yang sengaja dibuka lebar-lebar mampu memberikan sensasi “nikmat” setelah seharian berpeluh basah dengan keringat di panas yang memang sangat menyengat.

“Pinggirrrr…” teriak sebuah suara. Abang Supir sepertinya tidak mendengar,karena tidak ada tanda-tanda kalau angkot melambat.

“Pinggirrrrrrr…..” kali ini ada banyak suara.

“Ya..ya sabar…” Abang Supir kaget, dan perlahan menepikan angkotnya. Aku mencari siapa sosok yang akan turun, dan “oowh..” aku ber-oh dalam hati, ternyata bocah SD yang mungkin masih duduk di kelas 2 atau 3. Dia duduk paling pojok dan terjepit di antara tubuh-tubuh besar penumpang lainnya. Dia sedikit kepayahan berjalan menghampiri pintu dengan ransel gede yang tersandang di pundaknya. Warna putih seragamnya sudah memudar, tapi dia tetap pede dengan dasi yang karetnya mulai kendor. Begitu keluar dia menjulurkan tangannya ke jendela untuk membayar ongkos. Tubuhnya nyaris tidak terlihat, hanya tangan kecilnya yang menggenggam uang dua ribu rupiah yang terlihat. Dia berusaha bisa melihat Abang Supir sambil berjinjit. Di luar dugaan, Abang Supir tertawa setelah sedikit melonggokkan kepalanya menatap si bocah.

“udah, gak usah bayar…”

Bocah itu kaget, merasa tidak percaya, uang dua ribu itu masih terjulur.

“beneran, gak usah bayar. Uangnya buat jajan kamu ntar sore ya….” sambil tersenyum ramah Abang Supir meyakinkan bahwa dia sedang tidak bercanda.

Bocah itu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi putih yang untuk anak seumuran dia cukup terawat dengan baik. Ia menarik tangannya, matanya berbinar, merasa senang. Meski tidak mengucapkan terima kasih, tapi sinar bahagia pada sorot matanya sudah cukup mewakili. Kemudian dia berlari gembira dan angkot kembali melaju. Dari spion aku bisa melihat Abang Supir sedang tersenyum bahagia.

Aku tidak tau apa yang sedang dipikirkannya, apakah dia sedang teringat pada anaknya yangg mungkin seumuran dengan bocah tadi, dan setiap sore menunggunya pulang untuk menodong “Ayah..minta duit buat jajan…”. Atau dia memang ingin berbagi meski dengan selembar uang dua ribu, sebagai bentuk kesyukuran karena angkotnya benar-benar penuh siang itu. Tak peduli berasa besar nominalnya, karena ia hanya ingin berbagi. Kebahagiaannya siang itu akan menjadi kebahagian si Bocah itu sore nanti. Apapun yang sedang dipikirkannya, tiba-tiba aku merasa ada kesejukan yang lain, kesejukan yang bukan berasal dari terpaan angin dari pintu dan jendela angkot.

Komentar