Kami berdua menatap bangunan Kantor Pos di depan kami. Sebuah bangunan tua dan merupakan saksi sejarah bisu kota kami, Medan. Atapnya yang khas berbentuk seperti kubah bisa saja mengecohkan orang-orang yang pertama kalinya datang ke Medan, jika mereka mengabaikan tulisan besar PT. Pos Indonesia di atas pintunya. Kau seperti masuk mesin waktu ketika memandangnya, kembali ke tahun tahun di mana orang orang Belanda berjalan hilir mudik dengan safari putih dan topi bulat khas mereka, kemudian ada banyak sepeda onta hilir mudik. Mobil2 kuno dengan para nona Belanda berambut pirang… Seperti itukah ketika itu?
“Za, kalo menikah, aku pengen menikah dengan orang yang pintar. Aku pengen punya suami yang pintar..” Suaranya membuyarkan lamunanku. Aku kembali pada kenyataan, melihat aktifitas kota Medan yang selalu ramai setiap waktunya. Tentu saja tidak dengan keberadaan orang2 Belanda yang hilir mudik. Aku menoleh ke arahnya. Dia, temanku. Orang yang sangat sering berbeda pendapat dengan aku, tapi juga sangat dekat denganku. Sore itu sepulang dari kantor kami memutuskan untuk duduk dipinggir jalan sambil minum teh botol hanya buat ngobrol.
“Gak salahkan?” dia bertanya lagi.
“Ya enggaklah…” jawabku. Meski aku tau kalau “pintar” yang ia maksudkan bisa saja menjadi sangat relatif.
“Pasti menyenangkan, ngobrol apa aja nyambung…” katanya lagi, kali sambil menatap langit. Ngayal dot com.
Benarkan? Pintar yang dia maksud sangat relatif. Nyambung ngomongin apa saja, itu artinya pintar standard dirinya. Karena kalau terlalu pintar bisa saja jadi gak nyambung dengan dia. Ya kan? Aku jadi geli sendiri, dan tiba2 tertawa. Dia cepat menoleh, heran “kenapa? Ada yg lucu?”
Masih sambil tertawa aku menjawab, “Ingat! Salah memilih pasangan bisa berdampak pada keturunan..” Mendengar itu dia ikut tertawa, dan jadilah kami tertawa bersama2 ala wkwkwkwkwk.
Kami kemudian menghela nafas panjang, nyaris bersamaan dan dia melanjutkan:
“Aku bertanya padanya, apakah dia bisa membaca Al Quran? Apakah dia bisa atau pernah jadi imam sholat. Katanya seh bisa, tapi keknya dia rada gimana ya waktu aku nanyain soal itu. Mungkin seperti sok diintrogasi kale, tapi aku cuek aja, aku bilang di sini (baca: Medan) orang yang mau menikah bakal ditest udah khatam belom…” Dia mulai cerita. Ini poinnya. Dia ingin curhat soal seseorang yang punya niat ingin menikah dengannya.
“Gak cuma di sini, sepupuku di Payakumbuh sana juga ditest…” kataku lagi..
“Oya? Tuh kan.. berarti tindakanku nanya gituan bener kan. Aku gak mo ah kalo dianya ntar ternyata gak bisa ngaji…” dia kelihatan cemas.
“Bolehlah…gak papa kok kalo cuma nanya..”aku menenguk habis minumanku. Temanku itu, wanita yang sama seperti aku, yang biasa2 aja. Menjadikan baca Alquran sebagai kriteria pertama untuk calonnya. Bukan posisi “wah” di sebuah perusahaan bukan pula tampang yang lumayan. Begitu pentingkah kriteria tersebut?
****
Cerita yang lain. Masih soal teman yang menyampaikan uneg2nya ke aku dan lagi2 masalah pernikahan, padahal aku sendiri belum menikah, tapi tetap bila cerita ke aku dia merasa sedikit lega…
“Ya Allah za, suer.. aku gak peduli soal dia bekerja di mana, selama pekerjaannya itu halal. Aku juga gak nuntut harus S2 seperti aku, gak za.. sama sekali enggak. Bukan itu poinnya. Aku hanya ingin seseorang yg bisa jadi qawwam dalam rumah tangga. Yang pemahaman agamanya baek. Aku lagi belajar mengenal Islam lebih dekat lagi, belajar memperbaiki diri. Aku gak butuh seseorang yg sibuk ngurusin materi mulu. Tapi juga yg bisa sama2 ngejar kebaikan akhirat… Apa salah? Kenapa orang selalu berpikir kalo aku terlalu memilih…”
Aku benar2 bingung menjawabnya. Biasanya aku hanya akan jadi pendengar, dan dengan begitu dia sedikit merasa lega. Menurutnya teman2nya yang laen sering memojokkan “ibarat milih jagung, ujung2nya dapat bongkolnya juga” kata mereka.
Temanku yang ini juga menempatkan kriteria “pemahaman islam” di urutan pertama. Dia memang akhir2 ini sedikit berbeda, mengenakan jilbab juga lebih rapi, banyak baca buku2 Islam, pokoke lebih enak dilihat aja deh.. ^^ Dirinya sendiri punya karir, latar belakang pendidikan yang gak sembarang, dan tentu saja cantik. Apakah benar dia terlalu "memilih"? sehingga lepas dari semua label "wah" pada dirinya, dia masih melajang...
****
Dari dua curhat teman, meski gak mewakili kriteria wanita lainnya dalam mencari pasangan hidupnya, aku jadi ingat Kak Mitha. Ketika menyelesaikan tugas akhir di Pertamina UP 2 Dumai, aku tinggal di kost2annya Kak Mitha. Pemilik kost2an seorang wanita, janda dengan satu putra. Tinggal sebulan di sana membuat aku dekat dengan kakak pemilik rumah.
Suatu hari saat aku sedang menyeduh teh di sore hari, dia cerita, “ kakak gak mo kalo kawin lagi. Susah cari laki2 yang baek, apalagi yg bisa menerima keadaan kakak. Yang bisa sayang sama Denny juga (Denny nama putranya). Kalo untuk biaya hidup berdua, insya Allah kakak masih sangguplah.. gak perlu nikah lagi…” aku diam mendengarkan.
“Tapi… kalo orangnya seperti pak ustad, kakak mau..”
gubrak!!! ketelan deh tehnya. Belum sempat dinikmati manisnya di mulut. Aku hanya tersenyum waktu dia melihatku.
Si ustad yang dimaksud adalah tetangganya. Ya, tetangganya tersebut memang ustad (sering memberi kajian Islam). Sudah berkeluarga dengan dua putri yang lucu2. Istrinya aktif dan kalau tidak salah penggagas acara pengajian ibu2 di daerah situ. Malam harinya, aku ceritain ke kak Mitha sambil tertawa. “tapi kalo sama pak ustad dia mau..heheheh”. Aku mengulang kata2nya sambil tertawa karena aku merasa lucu saat itu. Kak Mitha hanya diam, tersenyum biasa (aslinya tersenyum bijak) ^^
“Za, itu namanya fitrah. Fitrah manusia menyukai keindahan. Suka sama wajah yg tampan/cantik, suka sama akhlak yang indah/santun/baik budi.. Mungkin itu yang dilihatnya. Keindahan kehidupan di keluarga si ustad, ustad yang jarang marah, selalu ramah, istrinya yang juga pintar dan ramah sama ibu2 sekitar sini, trus anak2 mereka yang pintar2 dan lucu.. dan dia juga ingin seperti itu. Sudah fitrahnya manusia seperti itu… tidak ada yang salah dan tidak ada yang lucu.” mendengar itu aku terdiam.
****
Sekarang aku tau, keinginan teman2ku itu sebenarnya adalah fitrah. Bukan tuntutan yang membuat mereka menjadi terlalu selektif. Semua orang menginginkan yang terbaik. Seperti halnya juga aku yang menginginkan seseorang yang baik agamanya dan baik pula akhlaknya. Hanya saja sekarang aku pikir janganlah terlalu berharap pada kriteria yang diinginkan. Karena tak akan pernah ada seperti yang kita inginkan. Tak ada salahnya membuka hati pada orang yang punya niat baik dan prilakunya juga baik. Selama dia mau belajar, bukankah akan lebih indah mempelajari Islam berdua nantinya… Jika masih terbata dalam membaca Al quran, masih bisa memperlancar bacaan asal ada niat. Yang belum bisa baca, masih ada waktu buat belajar asal ada niat. Yang belum begitu mengenal Islam, juga masih bisa belajar asal ada niat. Jadi mulailah buka hatimu pada pria yang benar2 serius padamu. Pria yang benar2 menginginkan sebuah pernikahan dan menginginkan sebuah keluarga yang sakinah…Jangan lupa istikharah, mudah2an dipemudah Allah..
Note: Teruntuk sahabat yang pernah curhat, makasih.. aku juga belajar dari kalian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalin komentar kamu di sini ^^