Malam ini entah
kenapa rasanya aku ingin berbagi cerita mengenai pengalamanku saat mengunjungi Mesjid Tiban. Saat
mengikuti Pekan Nasional Petani Nelayan (PENAS) ke-IV Tahun 2014 di Kabupaten Malang, Jawa Timur
beberapa bulan yang lalu, bersama rekan-rekan yang lain aku berkesempatan
mengunjungi Mesjid Tiban di Turen, Kabupaten Malang. I was so excited, of course! Perjalanan mengunjungi tempat-tempat
baru selalu menyenangkan buatku. Apalagi kala itu yang akan dikunjungi adalah
Mesjid. Ada perasaan lain yang gak bisa aku ungkapkan saat berwisata religi.
Aku pikir, ada banyak juga orang yang merasakan hal yang sama denganku.
Pertanyaan
pertama saat mendengar nama Mesjid Tiban adalah, seperti apa sejarahnya. Kenapa
kemudian Mesjid ini menjadi situs yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu
saja. Apa yang kemudian aku dengar dari komentar rekan-rekanku di dalam mobil
saat di perjalanan membuatku nyaris gak percaya. “Mesjid itu dibangun oleh jin
dan langsung selesai dalam satu malam”. Subhanallah!
Tapi tentu
saja semuanya menjadi berbeda saat mobil yang kami tumpangi memasuki lokasi
Mesjid. Sebuah selebaran berisi klarifikasi atas informasi menyesatkan
sebelumnya, diberikan kepada kami. Isinya tentu saja bantahan bahwa Mesjid
tersebut dibangun oleh Jin, akan tetapi pembangunan mesjid dilakukan oleh para
santri dan jamaah. Pembangunan mesjid tersebut juga tidak terjadi dalam satu
malam, karena sampai saat aku mengunjunginya, masih ada beberapa bagian dari
Mesjid yang masih dalam tahap pengerjaan. Selain itu sebuah informasi yang
tentu saja mencengangkan adalah bahwa keseluruhan desain mesjid diperoleh Kyai pimpinan
pondok pesantren melalui sholat istikharahnya. Masya Allah!
Gak ada campur tangan arsitek, murni hasil istikharah, Masya Allah! |
Di depan pintu masuk mesjid |
Taman di dominasi warna biru |
Di salah satu taman di dalam Mesjid |
Desain Mesjid
Tiban memang unik. Saat pertama kali melihatnya, warna dominan biru
mengingatkanku pada Mesjid Biru di Turki. Tentu saja bangunan mesjid Tiban tidak
sama dengan Mesjid Biru, karena saat melihat Mesjid Tiban aku merasa ada unsur-unsur
lain yang tidak melulu berbau Islami melainkan terdapat perpaduan unsur-unsur oriental dan india.
Sejujurnya
saat memasuki Mesjid, aku seperti memasuki sebuah labirin. Ada begitu banyak
ruangan, aku bahkan tidak yakin melewati semuanya. Ada ruangan dengan
pencahayaan yang sangat baik, tetapi ada juga ruangan dengan pencahayaan yang
sangat minim, sehingga terkesan gelap. Ruangan yang kami lalui ada dulunya
merupakan kamar Kyiai, ada ruangan tempat menerima tamu, ada ruangan tempat
anak-anak mengaji (TPA), ada kantin, bahkan ada swalayannya juga. Komplit! Yang
mengelola tentu saja para santri. Selain ruangan, taman-tamannya juga membuat
siapa saja betah berlama-lama untuk tafakur akan kebesaranNya.
Menurut
santri yang saat itu memandu kami, Mesjid Tiban dibangun tanpa merubah kondisi
alam sekitar. Jadi karena kontur tanahnya berbukit-bukit, maka bangunan mesjid
jadi bertingkat mengikuti keadaan tanah. Jadi jangan heran ketika sudah merasa
menaiki tangga beberapa kali, tiba-tiba kita berada di sebuah taman dengan
pohon-pohon yang ditanam langsung di tanah. Seperti berada di lantai satu
kembali. Sekarang Kyai pimpinan pondoknsudah wafat, karena itu aku sempat bertanya bagaimana dengan
kelanjutan pembangunan mesjid, karena ada beberapa ruangan yang kami lewati
masih dalam proses pengerjaan. Santri tersebut tersenyum bijak. Katanya, “Semua
desain mesjid secara keseluruhan sudah ada. Saat ini proses pembangunan
bertahap sambil terus meminta saran dan masukan dari Nyai (Istri Almarhum Kyai)”.
Mengagumkan!
bagus ya...
BalasHapusfull keramik gitu
suka lihat warna birunya
Zaa.... :)
BalasHapusHufff...mampir kesini bikin kangen... :)
subhanalloh,bagus sekali mesjidnya,, :)
BalasHapuskereeen sekali .. saya mau lihat jugaa
BalasHapus