Emily of New Moon



Novel ini bercerita tentang gadis cilik, Emily. Setelah kematian Ayahnya, Emily diasuh oleh Bibi Elizabeth (bibi dari pihak ibu). Tapi Bibinya ini tidak begitu menyukainya, gara-gara saudaranya si Juliet (nyokapnya Emily) pake acara kawin lari sama si Douglas Starr (Bokapnya Emily). Dan tentu saja sensasi itu menorehkan rasa malu pada keluarga besar Murray. Tapi mau gak mau, namanya juga keponakan dan tinggal sebatang kara, Emily pun akhirnya diajak pindah ke New Moon, kediaman keluarga besar Murray.

Aku pikir Emily ini adalah anak yang luar biasa. Dia sangat cerdas. Selain cerdas, dia juga apa adanya (polos) dan pemberani. Apalagi kalau menyangkut pendapat. Jika dia merasa bahwa dia punya pendapat yang berbeda, maka dia akan utarakan itu, meski itu Bibi Elizabethnya. Seperti pada saat mereka dalam perjalanan ke New Moon dari rumah lama Emily, mereka singgah di Charllotetown untuk makan siang. Emily tidak menyantap makan siang daging sapi, karena dia lagi bersedih dengan kematian ayahnya dan tidak berselera untuk makan siang. Karena tidak menyentuh daging sapi, bibi Elizabeth memesan daging ayam. Bibi Laura (saudara perempuan ibunya juga) yang membujuknya untuk menghabiskan makan siangnya. Dan Emily pada akhirnya mau menghabiskan daging ayam. Tapi dia merasa perlu menjelaskan ke Bibi Elizabeth tentang sikapnya itu, kira-kira seperti ini:

“Bibi Elizabeth, aku gak makan daging sapi bukan karena gak suka, tapi lagi gak selera. Dan kalau sekarang aku makan daging ayam juga bukan karena aku lebih suka daging ayam ketimbang daging sapi, tapi karena aku menghormatimu dan takut kamu marah…”

Atau seperti saat memulai hari pertamanya sekolah, Emily dipaksa bibi Elizabeth untuk memakai celemek tua milik ibunya. Dia menolak karena merasa celemek tua itu tidak cocok untuknya. Tapi bukan bibi Elizabeth namanya kalau harus mengalah dari keponakannya. Emily sampai menangis dan tetap harus memakai celemek itu. Tapi dia merasa perlu mengingatkan bibinya meski dengan air mata berlinang, “Biar bagaimanapun, Bibi Elizabeth kau tak akan pernah bisa memaksa Tuhan”. Wow!! Mungkin kita akan tersenyum mendengar celoteh bocah usia 10 Tahun tersebut, tapi maknanya dalam banget. Dia hanya mengingatkan bahwa, bibinya itu mungkin bisa saja memaksakan kehendaknya, tapi itu bukan berarti dia adalah penguasa, karena ada yang jauh lebih berkuasa.

Novelnya menarik. Gambaran tentang New Moon akan membuat imajinasi kita mengembara jauh ke sebuah desa dengan peternakan dan pohon-pohon maple merah yang kalo lagi musim gugur, daun2nya akan menutupi rerumputan dengan warna merahnya yang menakjubkan. (ini murni hayalanku, karena di game online aku punya peternakan dengan daun-daun maple yang berguguran, its so beautiful)

Kisah Emily dengan sahabat sahabatnya Ilse Burnley, Teddy dan Perry ini bisa dijadika inspirasi bagaimana anak-anak dengan karakter berbeda bisa saling memberi support satu sama lain. Aku belajar banyak dari Emily kecil. Dan namanya juga anak-anak, maka sisi lain dari anak-anaknya juga kental sekali. Apa itu? Nakal.

Secara keseluruhan ceritanya menarik, kalau dari bahasa? Jangan ditanya lagi. Meski ini karya terjemahan, bahasanya indah sekali. Apalagi pada sajak-sajak yang ditulis Emily. Kalau kata penulisnya, Lucy Maund Montgomery, Emily adalah perwakilan dari dirinya. Maka aku suka dengan imajinasi Lucy. Tidak semua orang punya imajinasi aneh ketika menggambarkan alam seperti dia menggambarkannya di novel Emily. Adam Hawa, Pinus Ayam Jago, Dewi Angin, Sang Kilat, Hmm what else? Confuse? Baca aja deh novelnya …

Judul Buku: Emily of New Moon
Penulis: Lucy Maud Montgomery
Penerbit: Qanita

Komentar