Cari Blog Ini

Minggu, Agustus 29

Bunda, Telaga yang Tak Pernah Kering



Takkan pernah habis kata untuk menguraikan cerita tentangmu, Bunda. Hari ini mendengarkanmu terbata membaca ayat-ayat cintaNya menyadarkanku bahwa sudah banyak waktu yang telah kita lalui bersama. Matamu sudah tak awas lagi seperti dahulu, sehingga untuk membaca Alquran mulai terbata-bata dan tidak selancar dahulu. Gerakanmu juga tak secepat dahulu saat meraihku ke pelukanmu ketika aku berteriak histeris kesakitan, jatuh karena belum sepenuhnya seimbang untuk berlari. Waktu menjadi saksi bagaimana satu persatu perubahan terjadi pada kita, Bunda. Bunda tak muda lagi dan aku bukan putri kecil bunda lagi.

***

Pagi itu sekolahku berbeda dari biasanya. Aku melihat semua teman-temanku datang bersama orangtuanya. Begitu juga aku, datang bersama Bunda dan Abah. Hari itu adalah hari pembagian rapor, dan kami para murid akan membuat kejutan dengan sebuah show kecil untuk menghibur para tamu yang tidak lain adalah orangtua kami sendiri. Aku sudah siap di belakang panggung, menunggu giliran namaku dipanggil untuk tampil membacakan sebuah puisi berjudul “Boneka” (aku masih ingat judulnya dan beberapa baitnya). Aku bisa mendengar suara tepuk tangan setiap kali temanku selesai dengan tarian atau lagu yang dinyanyikan, hingga tiba giliranku. Aku berjalan pasti memasuki panggung. Menatap semua tamu yang hadir dan aku bisa melihat Bunda juga berada di antara mereka, tersenyum hangat padaku. Setelah membungkuk memberi hormat, dengan suara lantang aku mendeklamasikan puisi “Boneka” dengan gerakan tangan seperti yang diajarkan ibu guru. Dan di sana, Bunda berdiri dari duduknya, menatapku bangga. Dia tetap berdiri hingga aku selesai dengan atraksi panggungku, dan tetap berdiri ketika memberikan tepuk tangannya, dan masih berdiri hingga aku berjalan meninggalkan panggung. Hari ini aku tau, dia melakukanya karena dia bangga denganku. Itu adalah bentuk apresiasi yang tulus darinya untuk puisi yang aku bacakan. Itu terjadi saat aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak.
***

Bunda tak hanya seorang Ibu, tapi juga sahabat buatku. Kami sering berbicara berdua di beranda setiap sore, karena hanya kamilah wanita di rumah. Selain Abah, dua saudaraku yang lain juga pria. Dan kalau sudah berdua dengan bunda kami layaknya dua orang sahabat yang saling bertukar cerita. Pada Bunda aku bisa cerita apa saja, dan dia selalu merespon dengan baik. Tidak pernah terdengar helaan nafas berat, wajah bosan atau cibiran. Semua ceritaku selalu menarik buatnya. Bunda dengan hati tulus selalu punya waktu untuk mendengarkan cerita kami, anak-anaknya. Jika tidak ada yang bercerita, maka Bunda yang akan berinisiatif bertanya.
Karena itu Abah pernah cemburu, suatu hari dia pernah bertanya ke Bunda, “Ketika aku sedang tidak berada di rumah, apa mereka pernah bertanya aku kemana?”
Bunda merasa heran, “Memangnya kenapa?”
Abah menjawab pelan, “Setiap kali mereka pulang dari aktifitas mereka di luar sana. Bahkan sejak mereka masih sekolah, setiap kali mereka pulang sekolah dan tidak mendapatimu, mereka semua kehilangan, mencarimu di setiap sudut rumah dan bertanya ‘Bunda mana, Bah?’, Aku hanya ingin tau apa mereka juga akan melakukan hal yang sama saat tidak mendapatiku?”
Abah tidak berlebihan, karena itu memang benar. Mungkin karena bunda adalah ibu rumah tangga biasa yang selalu punya waktu buat anak-anaknya. Sehingga kami sangat tergantung padanya. Sehari saja tidak melihatnya seperti ada yang hilang.

***

Mungkin kedengarannya lucu, tapi pernah pada suatu hari, Bunda memperlihatkan sebuah model pakaian muslimah dari sebuah majalah padaku. Biasanya bunda ingin tau pendapatku, “Coba liat, Za. Cantik ya?” Aku melihat sebentar, dan tersenyum. “Bunda.. orang yang memakainya aja udah cakep gitu, pakai apa aja ya pasti cantiklah…”Aku tidak begitu serius menanggapi Bunda. Di luar dugaan, dia menutup majalah kemudian meraih kedua pundakku dengan kedua tangannya, memintaku untuk melihatnya. “Mungkin kamu belum mengalaminya, Za. Dan suatu saat nanti kamu akan mengalaminya. Percayalah, Za. Di mata seorang ibu, putrinya tetap yang paling cantik.” Saat itu aku menyesal kenapa tidak memberikan tanggapan yang serius, bukan sekedar asal berbicara seperti itu, karena saat memandang mata Bunda aku tau bahwa bunda sedang tidak bercanda.

***

Ah, Bunda…Takkan pernah habis kata untuk mengurai cerita tentangmu. Bunda yang sangat kuat, mendampingi Abah bertahun-tahun dalam kesetiaan, dan bersedia membantu finansial Abah dengan membuka usaha menjahit. Semua dilakukan bunda karena cintanya pada Abah dan kami, anak-anaknya. Meski tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tapi bunda punya semangat belajar yang tinggi. Acara favoritnya di televisi adalah berita, bukan sinetron. Dan hal-hal yang tidak ia mengerti tak segan ditanyakannya pada kami anak-anaknya. Bunda juga tidak kolot. Dibandingkan Abah yang berpendidikan lebih tinggi, justru Bunda yang lebih optimis yakin bisa mengantarkan kami menyelesaikan studi kami di perguruan tinggi. Sebagai PNS Abah sempat khawatir tidak mampu menyekolahkan kami hingga Perguruan Tinggi, tapi bunda tek henti-hentinya mendukung dan membantu Abah. Tak pernah sedikitpun Bunda mengeluh soal biaya kuliah di depan kami anak-anaknya. Bersama Abah semua dilaluinya dengan optimis. Bunda selalu yakin bahwa Allah akan membantunya, memudahkan semua urusannya.
Maha suci Allah yang menciptakan hati selembut hatimu, Bunda. Hati yang selalu ikhlas mengabdi sebagai istri dan ibu bagi kami. Tak pernah mengeluh atas lelah yang dihadapi setiap hari. Saat ini, ketika kami masih dalam limpahan karunia dari Allah, aku yakin itu karena doa-doamu yang tak pernah putus untuk kami.
Bunda…
Takkan pernah habis kata untuk mengurai cerita tentangmu. Bunda, kaulah inspirasiku. Aku banyak belajar darimu, Bunda. Tanpa kau sadari, kau telah mengajari kami bagaimana bersyukur, bagaimana mencintai, bagaimana bersabar, dan optimis menjalani kehidupan. Meski kata tak pernah cukup untuk mengurai itu semua, tapi hati kami mampu menyimpan semuanya. Di hati ini, semua tentangmu terukir dengan indah. Kaulah telaga itu, Bunda. Telaga yang tak pernah kering buat kami anak-anakmu.

Note:
Tulisan ini diikutsertakan pada "1000 Kisah Tentang Ibu Blog Competition" persembahan UNGU dan Gery Chocolatos.

6 komentar:

  1. Bunda......kalau Mieny panggilnya Mamak tak akan habis kata untuk mereka.....

    Sis, semangat ia sapa tau kita nanti ketemu d'Kemenangan...AMin Ya Rab

    BalasHapus
  2. Amieenn...
    Bisa menuliskan ttg sosok ibuku di mataku aja udah seneng bgt mi...

    thanks udh berkunjung :)

    BalasHapus
  3. assalammualaikum
    wahh chika berkunjung sesama peserta ^^
    menuliskan kisah tentang IBu memang tak ada habisnya :)

    BalasHapus
  4. terimakasih chika sdh berkunjung, salam kenal ^^

    BalasHapus
  5. ZAC... KAMU HEBAT...
    BISA JD PEMENANG... selamat ya?
    aku suka karya kamu...
    baca bloq aku juga ya?
    www.poe-edyson.blogspot.com
    emank si ga menang yg pnting kan aku uda berusaha ikut.
    jgn lupa koment n follow aku jg ya?
    km uda aku follow. thx

    BalasHapus
  6. @ Poe: Kamu juga hebat Poe, kamu juga udah cerita ttg kamu dan ibu kamu dgn baik.. Salam kenal Poe ^^

    BalasHapus

Tinggalin komentar kamu di sini ^^